Kebatinan adalah sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling
dalam, dan terjadi pada siapa saja, belajar ilmu pelet termasuk pada orang-orang yang
sangat tekun dan murni dalam agamanya, karena setiap agama pun
mengajarkan juga tentang apa yang dirasakan hati dan batin,
mengajarkan untuk selalu membersihkan hati, bagaimana harus berpikir
dan bersikap, dsb. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung
makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para
penganutnya. Bahkan panggilan yang dirasakan seseorang untuk
beribadah, itu juga batin. Dan di dalam batin tersimpan sebuah
kekuatan yang besar jika dilatih dan diolah. Kekuatan batin menjadi
kekuatan hati dalam menjalani hidup dan memperkuat keimanan seseorang.
Ajaran kebatinan kejawen pada dasarnya adalah pemahaman dan
penghayatan kepercayaan orang Jawa terhadap Tuhan. Kejawen atau
Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya,
tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen
mencerminkan spiritualitas orang Jawa. Ajaran kejawen tidak terpaku
pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada
konsep "keseimbangan dan keharmonisan hidup". Kebatinan Jawa
merupakan tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan
purba, jauh sebelum hadirnya agama-agama di pulau Jawa, yang pada
prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti, juga diwarnai
ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik.
Secara kebatinan dan spiritual dipahami bahwa kehidupan manusia di
alam ini hanyalah sementara saja, yang pada akhirnya nanti semua orang
akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri,
adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah
manusia harus bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan yang lebih
tinggi (roh-roh dan Tuhan), dan beradaptasi dengan lingkungan alam dan
memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Lebih baik untuk
menjaga sikap dan tidak membuat masalah. Memiliki sedikit lebih baik,
daripada berambisi mencari 'lebih'. Dengan demikian idealisme
kebatinan jawa menuntun manusia pada sikap menerima, sabar, rendah
hati, sikap tahu diri, kesederhanaan, suka menolong, tidak serakah,
tidak berfoya-foya / berhura-hura, dsb. Idealisme inilah yang
menjadikan manusia hidup tenteram dan penuh rasa syukur kepada Tuhan.
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan
mereka syukuri sebagai karunia Allah.
Mereka percaya adanya 'berkah' dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan
kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka 'keberkahan'. Karena itu
dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku,
kebersihan hati dan batin dan ditambah dengan laku prihatin dan
tirakat supaya hidup mereka diberkahi. Mereka tekun menjalankan "laku"
untuk pencerahan cipta, rasa, budi dan karsa.
Laku adalah usaha / upaya.
Prihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang
enak-enakan.
Tirakat adalah usaha-usaha tertentu sebagai tambahan, untuk
terkabulnya suatu keinginan.
Hakekat dan tujuan dari laku prihatin dan tirakat adalah usaha untuk
menjaga agar kehidupan manusia selalu 'keberkahan', selamat dan
sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari
kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku
mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu bersikap
positif dan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif dan tidak
bijaksana, demi tercapainya tujuan hidup.
Di luar segala bentuk laku prihatin yang dijalankan manusia, ada laku
lain yang sifatnya sangat mendasar, yaitu puasa hati dan batin,
senantiasa menjaga sikap hati dan batin, yang dalam kesehariannya
dilakukan tanpa kelihatan bentuk lakunya.
Laku prihatin yang biasa dilakukan pada dasarnya adalah :
1. Membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas.
2. Hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki.
3. Mengurangi makan dan tidur.
4. Tidak melulu mengejar kesenangan hidup.
5. Menjaga sikap eling lan waspada.
Di dalam tradisi spiritual kejawen, seorang penghayat kejawen biasa
melakukan puasa dan laku prihatin dengan hitungan hari tertentu,
biasanya disesuaikan dengan kalender jawa, misalnya puasa senin-kamis,
wetonan, selasa kliwon, jum'at kliwon, dsb.
Puasa tersebut dimaksudkan untuk menjadikan hidup mereka lebih
'bersih' dan keberkahan, sekaligus juga bersifat kebatinan, yaitu
untuk memelihara kepekaan batin dan memperkuat hubungan mereka dengan
saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut 'Sedulur Papat',
sehingga puasa itu juga memelihara 'berkah' indera keenam seperti
peka firasat, peka terhadap petunjuk gaib / pertanda, peka tanda-tanda
alam, dsb.
Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk menahan
diri terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan dan nafsu /
hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan. Laku
prihatin juga dimaksudkan sebagai upaya menggembleng diri untuk
mendapatkan 'ketahanan' jiwa dan raga dalam menghadapi
gelombang-gelombang dan kesulitan hidup. Orang yang tidak biasa laku
prihatin, tidak biasa menahan diri, akan merasakan beratnya menjalani
laku prihatin.
Laku prihatin dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup
ini secara tidak berlebih-lebihan. Idealnya, hidup ini dijalani secara
proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan
hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran (tidak
berlebihan dan tidak pamer). Walaupun kepemilikan kebendaan seringkali
dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, dan
sekalipun seseorang sudah jaya dan berkecukupan, laku prihatin dapat
dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang
tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan menahan diri dari
perilaku konsumtif berlebihan. Menjalani laku prihatin juga tidak sama
dengan menahan diri karena hidup yang serba kekurangan.
dalam, dan terjadi pada siapa saja, belajar ilmu pelet termasuk pada orang-orang yang
sangat tekun dan murni dalam agamanya, karena setiap agama pun
mengajarkan juga tentang apa yang dirasakan hati dan batin,
mengajarkan untuk selalu membersihkan hati, bagaimana harus berpikir
dan bersikap, dsb. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung
makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para
penganutnya. Bahkan panggilan yang dirasakan seseorang untuk
beribadah, itu juga batin. Dan di dalam batin tersimpan sebuah
kekuatan yang besar jika dilatih dan diolah. Kekuatan batin menjadi
kekuatan hati dalam menjalani hidup dan memperkuat keimanan seseorang.
Ajaran kebatinan kejawen pada dasarnya adalah pemahaman dan
penghayatan kepercayaan orang Jawa terhadap Tuhan. Kejawen atau
Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya,
tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen
mencerminkan spiritualitas orang Jawa. Ajaran kejawen tidak terpaku
pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada
konsep "keseimbangan dan keharmonisan hidup". Kebatinan Jawa
merupakan tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan
purba, jauh sebelum hadirnya agama-agama di pulau Jawa, yang pada
prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti, juga diwarnai
ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik.
Secara kebatinan dan spiritual dipahami bahwa kehidupan manusia di
alam ini hanyalah sementara saja, yang pada akhirnya nanti semua orang
akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri,
adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah
manusia harus bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan yang lebih
tinggi (roh-roh dan Tuhan), dan beradaptasi dengan lingkungan alam dan
memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Lebih baik untuk
menjaga sikap dan tidak membuat masalah. Memiliki sedikit lebih baik,
daripada berambisi mencari 'lebih'. Dengan demikian idealisme
kebatinan jawa menuntun manusia pada sikap menerima, sabar, rendah
hati, sikap tahu diri, kesederhanaan, suka menolong, tidak serakah,
tidak berfoya-foya / berhura-hura, dsb. Idealisme inilah yang
menjadikan manusia hidup tenteram dan penuh rasa syukur kepada Tuhan.
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan
mereka syukuri sebagai karunia Allah.
Mereka percaya adanya 'berkah' dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan
kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka 'keberkahan'. Karena itu
dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku,
kebersihan hati dan batin dan ditambah dengan laku prihatin dan
tirakat supaya hidup mereka diberkahi. Mereka tekun menjalankan "laku"
untuk pencerahan cipta, rasa, budi dan karsa.
Laku adalah usaha / upaya.
Prihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang
enak-enakan.
Tirakat adalah usaha-usaha tertentu sebagai tambahan, untuk
terkabulnya suatu keinginan.
Hakekat dan tujuan dari laku prihatin dan tirakat adalah usaha untuk
menjaga agar kehidupan manusia selalu 'keberkahan', selamat dan
sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari
kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku
mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu bersikap
positif dan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif dan tidak
bijaksana, demi tercapainya tujuan hidup.
Di luar segala bentuk laku prihatin yang dijalankan manusia, ada laku
lain yang sifatnya sangat mendasar, yaitu puasa hati dan batin,
senantiasa menjaga sikap hati dan batin, yang dalam kesehariannya
dilakukan tanpa kelihatan bentuk lakunya.
Laku prihatin yang biasa dilakukan pada dasarnya adalah :
1. Membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas.
2. Hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki.
3. Mengurangi makan dan tidur.
4. Tidak melulu mengejar kesenangan hidup.
5. Menjaga sikap eling lan waspada.
Di dalam tradisi spiritual kejawen, seorang penghayat kejawen biasa
melakukan puasa dan laku prihatin dengan hitungan hari tertentu,
biasanya disesuaikan dengan kalender jawa, misalnya puasa senin-kamis,
wetonan, selasa kliwon, jum'at kliwon, dsb.
Puasa tersebut dimaksudkan untuk menjadikan hidup mereka lebih
'bersih' dan keberkahan, sekaligus juga bersifat kebatinan, yaitu
untuk memelihara kepekaan batin dan memperkuat hubungan mereka dengan
saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut 'Sedulur Papat',
sehingga puasa itu juga memelihara 'berkah' indera keenam seperti
peka firasat, peka terhadap petunjuk gaib / pertanda, peka tanda-tanda
alam, dsb.
Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk menahan
diri terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan dan nafsu /
hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan. Laku
prihatin juga dimaksudkan sebagai upaya menggembleng diri untuk
mendapatkan 'ketahanan' jiwa dan raga dalam menghadapi
gelombang-gelombang dan kesulitan hidup. Orang yang tidak biasa laku
prihatin, tidak biasa menahan diri, akan merasakan beratnya menjalani
laku prihatin.
Laku prihatin dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup
ini secara tidak berlebih-lebihan. Idealnya, hidup ini dijalani secara
proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan
hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran (tidak
berlebihan dan tidak pamer). Walaupun kepemilikan kebendaan seringkali
dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, dan
sekalipun seseorang sudah jaya dan berkecukupan, laku prihatin dapat
dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang
tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan menahan diri dari
perilaku konsumtif berlebihan. Menjalani laku prihatin juga tidak sama
dengan menahan diri karena hidup yang serba kekurangan.
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.