Prihatinnya Orang Miskin Harta.
Walaupun seseorang kekurangan harta, tetapi dia tidak mengisi hidupnya
dengan kesedihan, rasa iri dan dengki dan tidak mengejar kekayaan
dengan cara tercela. Tetap hidup sederhana sesuai kebutuhannya dan
tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Walaupun tidak dapat
memenuhi keinginan kebendaan duniawi secara berlebihan, tetapi tetap
menjalani hidup dengan ilmu pelet wanita rasa menerima dan bersyukur. Dan sekalipun
menolong dan membantu orang lain, tetapi dilakukan tanpa pilih kasih
dan tanpa pamrih kebendaan, dengan demikian hidupnya juga memberkahi
orang lain.
Filosofinya : makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan (hewan). Urip
iku mung mampir ngumbe thok.
Hidup seperlunya saja sesuai kebutuhan, bukannya mengejar / menumpuk
harta atau apapun juga yang nantinya toh tidak akan dibawa mati ke
dalam kubur.
Sekalipun mereka miskin harta, tetapi kaya di hati, sugih tanpa
bandha. Berbeda dengan orang yang berjiwa miskin, yang sekalipun sudah
berkecukupan harta, tetapi selalu merasa takut miskin, dan akan
melakukan apa saja, termasuk perbuatan yang tercela, untuk terus
menambah kekayaannya.
Prihatinnya Orang Kaya Harta.
Walaupun seseorang berlebihan harta, tetapi tidak mengisi hidupnya
dengan kesombongan dan hidup bermewah-mewahan. Tetap hidup sederhana
sesuai kebutuhannya dan tidak memenuhi segala keinginan melebihi apa
yang menjadi kebutuhan.
Seseorang yang kaya berlimpah harta, memiliki banyak benda yang bagus
dan mahal harganya dan melakukan pengeluaran yang "lebih" untuk ukuran
orang biasa, bukan selalu berarti tidak menjalani laku prihatin. Namun
hidup yang bermewah-mewahan sama saja dengan hidup berlebih-lebihan
(melebihi apa yang menjadi kebutuhan), inilah yang disebut tidak
menjalani laku prihatin.
Orang kaya harta, yang selalu mengsyukuri kesejahteraannya, akan
tampak dari sikap hatinya yang selalu memberi 'lebih' kepada
orang-orang yang membutuhkan pemberiannya, bukan sekedar memberi,
walaupun perbuatannya itu tidak ada yang melihat. Dan semua
kewajibannya, duniawi maupun keagamaan, yang berhubungan dengan
hartanya akan dipenuhinya, seperti yang seharusnya, tidak ada yang
dikurangkan.
Prihatinnya Orang Kaya Ilmu.
Orang kaya ilmu, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, akan
menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan ilmunya tidak untuk
kesombongan dan kejayaan dan kepentingan dirinya sendiri, dan tidak
untuk membodohi atau menipu orang lain, tetapi dimanfaatkan juga untuk
menolong orang lain dan membaginya kepada siapa saja yang layak
menerimanya, tanpa pamrih kehormatan atau upah.
Prihatinnya Orang Berkuasa.
Seorang penguasa hidup prihatin dengan menahan kesombongannya, menahan
hawa nafsu sok kuasa, dan tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk
kejayaan diri sendiri dan keluarganya saja. Kekuasaan dijadikan sarana
untuk menciptakan kesejahteraan bagi para bawahan dan masyarakat yang
dipimpinnya. Kekuasaan dimanfaatkan untuk menciptakan negeri yang adil
dan makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja,
sebagaimana layaknya seorang negarawan sejati.
Seorang politikus hidup prihatin dengan tidak hanya membela
kepentingannya, kelompoknya atau golongannya sendiri, atau untuk
mencari popularitas, menggoyang pemerintahan yang ada, tetapi
digunakan untuk mendukung pemerintahan yang ada dan meluruskan
jalannya pemerintahan yang keliru, yang menyimpang, untuk kepentingan
rakyat banyak.
Seorang aparat negara, aparat keamanan atau penegak hukum, hidup
prihatin dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tugasnya dengan
semestinya dan tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas,
memeras, atau berpihak kepada pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak
yang lain, mencukupkan dirinya dengan gajinya dan menambah rejeki
dengan cara-cara yang halal, tidak mencuri, tidak memeras, tidak
meminta / menerima sogokan.
Orang jawa bilang intinya kita harus selalu eling lan waspada. Selalu
ingat Tuhan. Tetapi biasanya manusia hanya mengejar kesuksesan saja,
keberhasilan, keberuntungan, dsb, tapi tidak tahu pengapesannya.
Sering dikatakan orang-orang yang selalu ingat Tuhan dan menjaga
moralitas, seringkali hidupnya banyak godaan dan banyak kesusahan.
Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa sombong, jangan merasa
lebih baik atau lebih benar dibanding orang lain, jangan ada pikiran
jelek tentang orang lain, karena kalau kita bersikap begitu sama saja
kita bersikap negatif dan menumbuhkan aura negatif dalam diri kita.
Aura negatif akan menarik hal-hal yang negatif juga, sehingga
kehidupan kita juga akan banyak berisi hal-hal yang negatif. Di sisi
lain kita juga harus sadar, bahwa orang-orang yang banyak menahan
diri, membatasi perbuatan-perbuatannya, seringkali menjadi kurang
greget, kurang kreatif dan yang didapatnya juga akan lebih sedikit
dibandingkan orang-orang yang tidak menahan diri. Itulah resikonya
menahan diri. Tetapi mereka yang sadar pada kemampuan dan potensi
diri, peluang-peluang, dsb, dan dapat memanfaatkannya dengan tindakan
nyata, akan juga dapat menghasilkan banyak, tanpa harus lupa Tuhan dan
merusak moralitasnya.
Di sisi lain sering dikatakan orang-orang yang tidak ingat Tuhan atau
tidak menjaga moralitas, seringkali kelihatan hidupnya lebih enak.
Bisa terjadi begitu karena mereka tidak banyak beban, tidak banyak
menahan diri, apa saja akan dilakukan walaupun tidak baik, walaupun
tercela. Beban hidupnya lebih ringan daripada yang menahan diri.
Mereka bisa mendapatkan lebih banyak, karena mereka tidak banyak
menahan diri.
Di luar pandangan-pandangan di atas, sebenarnya, jalan kehidupan
masing-masing mahluk, termasuk manusia, sudah ada garis-garis
besarnya, sehingga bisa diramalkan oleh orang-orang tertentu yang bisa
meramal. Tinggal masing-masing manusianya saja dalam menjalani
kehidupannya, apakah akan banyak eling dan menahan diri, ataukah akan
mengumbar keduniawiannya.
Dalam tradisi jawa, laku prihatin dan tirakat adalah bentuk upaya
spiritual / kerohanian seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan
raga, ditambah dengan laku-laku tertentu, untuk tujuan mendapatkan
keberkahan dan keselamatan hidup, kesejahteraan lahiriah maupun batin,
atau juga untuk mendapatkan keberkahan tertentu, suatu ilmu tertentu,
kekayaan, kesaktian, pangkat atau kemuliaan hidup. Laku prihatin dan
tirakat ini, selain merupakan bagian dari usaha dan doa kepada Tuhan,
juga merupakan suatu 'keharusan' yang sudah menjadi tradisi, yang
diajarkan oleh para pendahulu mereka.
Ada pepatah, puasa adalah makanan jiwa. Semakin gentur laku puasa
seseorang, semakin kuat jiwanya, sukmanya.
Laku puasa yang dilakukan sebagai kebiasaan rutin akan membentuk
kebatinan manusia yang kuat untuk bisa mengatasi belenggu duniawi
lapar dan haus, mengatasi godaan hasrat dan nafsu duniawi, dan menjadi
upaya membersihkan hati dan mencari keberkahan pada jalan hidup. Akan
lebih baik bila sebelum dan selama melakukan laku tersebut selalu
berdoa niat dan tujuannya, mendekatkan hati dengan Tuhan, jangan hanya
dijadikan kebiasaan rutin saja.
Berat-ringannya suatu laku kebatinan bergantung pada kebulatan tekad
sejak awal sampai akhir. Bentuk laku yang dijalani tergantung pada
niat dan tujuannya. Diawali dengan mandi keramas / bersuci, menyajikan
sesaji sesuai yang diajarkan dan memanjatkan doa tentang niat dan
tujuannya melakukan laku tersebut dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan jahat dan tercela. Ada juga yang melakukannya
bersama dengan laku berziarah, atau bahkan tapa brata, di
tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti di gunung, makam leluhur
/ orang-orang linuwih, hutan / goa / bangunan yang wingit, dsb.
Walaupun seseorang kekurangan harta, tetapi dia tidak mengisi hidupnya
dengan kesedihan, rasa iri dan dengki dan tidak mengejar kekayaan
dengan cara tercela. Tetap hidup sederhana sesuai kebutuhannya dan
tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Walaupun tidak dapat
memenuhi keinginan kebendaan duniawi secara berlebihan, tetapi tetap
menjalani hidup dengan ilmu pelet wanita rasa menerima dan bersyukur. Dan sekalipun
menolong dan membantu orang lain, tetapi dilakukan tanpa pilih kasih
dan tanpa pamrih kebendaan, dengan demikian hidupnya juga memberkahi
orang lain.
Filosofinya : makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan (hewan). Urip
iku mung mampir ngumbe thok.
Hidup seperlunya saja sesuai kebutuhan, bukannya mengejar / menumpuk
harta atau apapun juga yang nantinya toh tidak akan dibawa mati ke
dalam kubur.
Sekalipun mereka miskin harta, tetapi kaya di hati, sugih tanpa
bandha. Berbeda dengan orang yang berjiwa miskin, yang sekalipun sudah
berkecukupan harta, tetapi selalu merasa takut miskin, dan akan
melakukan apa saja, termasuk perbuatan yang tercela, untuk terus
menambah kekayaannya.
Prihatinnya Orang Kaya Harta.
Walaupun seseorang berlebihan harta, tetapi tidak mengisi hidupnya
dengan kesombongan dan hidup bermewah-mewahan. Tetap hidup sederhana
sesuai kebutuhannya dan tidak memenuhi segala keinginan melebihi apa
yang menjadi kebutuhan.
Seseorang yang kaya berlimpah harta, memiliki banyak benda yang bagus
dan mahal harganya dan melakukan pengeluaran yang "lebih" untuk ukuran
orang biasa, bukan selalu berarti tidak menjalani laku prihatin. Namun
hidup yang bermewah-mewahan sama saja dengan hidup berlebih-lebihan
(melebihi apa yang menjadi kebutuhan), inilah yang disebut tidak
menjalani laku prihatin.
Orang kaya harta, yang selalu mengsyukuri kesejahteraannya, akan
tampak dari sikap hatinya yang selalu memberi 'lebih' kepada
orang-orang yang membutuhkan pemberiannya, bukan sekedar memberi,
walaupun perbuatannya itu tidak ada yang melihat. Dan semua
kewajibannya, duniawi maupun keagamaan, yang berhubungan dengan
hartanya akan dipenuhinya, seperti yang seharusnya, tidak ada yang
dikurangkan.
Prihatinnya Orang Kaya Ilmu.
Orang kaya ilmu, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, akan
menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan ilmunya tidak untuk
kesombongan dan kejayaan dan kepentingan dirinya sendiri, dan tidak
untuk membodohi atau menipu orang lain, tetapi dimanfaatkan juga untuk
menolong orang lain dan membaginya kepada siapa saja yang layak
menerimanya, tanpa pamrih kehormatan atau upah.
Prihatinnya Orang Berkuasa.
Seorang penguasa hidup prihatin dengan menahan kesombongannya, menahan
hawa nafsu sok kuasa, dan tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk
kejayaan diri sendiri dan keluarganya saja. Kekuasaan dijadikan sarana
untuk menciptakan kesejahteraan bagi para bawahan dan masyarakat yang
dipimpinnya. Kekuasaan dimanfaatkan untuk menciptakan negeri yang adil
dan makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja,
sebagaimana layaknya seorang negarawan sejati.
Seorang politikus hidup prihatin dengan tidak hanya membela
kepentingannya, kelompoknya atau golongannya sendiri, atau untuk
mencari popularitas, menggoyang pemerintahan yang ada, tetapi
digunakan untuk mendukung pemerintahan yang ada dan meluruskan
jalannya pemerintahan yang keliru, yang menyimpang, untuk kepentingan
rakyat banyak.
Seorang aparat negara, aparat keamanan atau penegak hukum, hidup
prihatin dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tugasnya dengan
semestinya dan tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas,
memeras, atau berpihak kepada pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak
yang lain, mencukupkan dirinya dengan gajinya dan menambah rejeki
dengan cara-cara yang halal, tidak mencuri, tidak memeras, tidak
meminta / menerima sogokan.
Orang jawa bilang intinya kita harus selalu eling lan waspada. Selalu
ingat Tuhan. Tetapi biasanya manusia hanya mengejar kesuksesan saja,
keberhasilan, keberuntungan, dsb, tapi tidak tahu pengapesannya.
Sering dikatakan orang-orang yang selalu ingat Tuhan dan menjaga
moralitas, seringkali hidupnya banyak godaan dan banyak kesusahan.
Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa sombong, jangan merasa
lebih baik atau lebih benar dibanding orang lain, jangan ada pikiran
jelek tentang orang lain, karena kalau kita bersikap begitu sama saja
kita bersikap negatif dan menumbuhkan aura negatif dalam diri kita.
Aura negatif akan menarik hal-hal yang negatif juga, sehingga
kehidupan kita juga akan banyak berisi hal-hal yang negatif. Di sisi
lain kita juga harus sadar, bahwa orang-orang yang banyak menahan
diri, membatasi perbuatan-perbuatannya, seringkali menjadi kurang
greget, kurang kreatif dan yang didapatnya juga akan lebih sedikit
dibandingkan orang-orang yang tidak menahan diri. Itulah resikonya
menahan diri. Tetapi mereka yang sadar pada kemampuan dan potensi
diri, peluang-peluang, dsb, dan dapat memanfaatkannya dengan tindakan
nyata, akan juga dapat menghasilkan banyak, tanpa harus lupa Tuhan dan
merusak moralitasnya.
Di sisi lain sering dikatakan orang-orang yang tidak ingat Tuhan atau
tidak menjaga moralitas, seringkali kelihatan hidupnya lebih enak.
Bisa terjadi begitu karena mereka tidak banyak beban, tidak banyak
menahan diri, apa saja akan dilakukan walaupun tidak baik, walaupun
tercela. Beban hidupnya lebih ringan daripada yang menahan diri.
Mereka bisa mendapatkan lebih banyak, karena mereka tidak banyak
menahan diri.
Di luar pandangan-pandangan di atas, sebenarnya, jalan kehidupan
masing-masing mahluk, termasuk manusia, sudah ada garis-garis
besarnya, sehingga bisa diramalkan oleh orang-orang tertentu yang bisa
meramal. Tinggal masing-masing manusianya saja dalam menjalani
kehidupannya, apakah akan banyak eling dan menahan diri, ataukah akan
mengumbar keduniawiannya.
Dalam tradisi jawa, laku prihatin dan tirakat adalah bentuk upaya
spiritual / kerohanian seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan
raga, ditambah dengan laku-laku tertentu, untuk tujuan mendapatkan
keberkahan dan keselamatan hidup, kesejahteraan lahiriah maupun batin,
atau juga untuk mendapatkan keberkahan tertentu, suatu ilmu tertentu,
kekayaan, kesaktian, pangkat atau kemuliaan hidup. Laku prihatin dan
tirakat ini, selain merupakan bagian dari usaha dan doa kepada Tuhan,
juga merupakan suatu 'keharusan' yang sudah menjadi tradisi, yang
diajarkan oleh para pendahulu mereka.
Ada pepatah, puasa adalah makanan jiwa. Semakin gentur laku puasa
seseorang, semakin kuat jiwanya, sukmanya.
Laku puasa yang dilakukan sebagai kebiasaan rutin akan membentuk
kebatinan manusia yang kuat untuk bisa mengatasi belenggu duniawi
lapar dan haus, mengatasi godaan hasrat dan nafsu duniawi, dan menjadi
upaya membersihkan hati dan mencari keberkahan pada jalan hidup. Akan
lebih baik bila sebelum dan selama melakukan laku tersebut selalu
berdoa niat dan tujuannya, mendekatkan hati dengan Tuhan, jangan hanya
dijadikan kebiasaan rutin saja.
Berat-ringannya suatu laku kebatinan bergantung pada kebulatan tekad
sejak awal sampai akhir. Bentuk laku yang dijalani tergantung pada
niat dan tujuannya. Diawali dengan mandi keramas / bersuci, menyajikan
sesaji sesuai yang diajarkan dan memanjatkan doa tentang niat dan
tujuannya melakukan laku tersebut dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan jahat dan tercela. Ada juga yang melakukannya
bersama dengan laku berziarah, atau bahkan tapa brata, di
tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti di gunung, makam leluhur
/ orang-orang linuwih, hutan / goa / bangunan yang wingit, dsb.
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.